TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA-Bagaimana Foke bisa kalah? Begitu pertanyaan krusial yang membuat penasaran banyak pihak, pasca-pemungutan suara Pilgub DKI putara dua.
Foke yang notabene Cagub incumbent merupakan putra Betawi. Demikian halnya, pasangannya Nachrowi Ramli (Nara). Keduanya, bahkan diusung partai koalisi. Partai Demokrat, Golkar, PKS, PKB, PAN dan PKB.
Sedangkan Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hanya diusung PDIP dan Gerindra. Jokowi dan Ahok pun bukan warga ibukota. Jokowi adalah Wali Kota Solo, Ahok mantan Bupati Belitung.
Kenapa Foke-Nara tak dipilih publik Jakarta? Ketua Divisi Komunikasi dan Informasi Partai Demokrat, Andi Nurpati berkilah partainya tak banyak dilibatkan dalam kerja tim sukses Foke-Nara.
"Kami bekerja, tapi tak maksimal, karena faktor tim sukses yang dipilih langsung calon," kata Andi Nurpati, kemarin. Kendati demikian, Andi mengungkapkan kekalahan jagonya lebih disebabkan faktor figur berikut kepribadiannya.
Sang lawan, Jokowi dinilai sosok baru yang mampu mempengaruhi keberpihakan masyarakat. "Meski belum kenal Jokowi, warga Jakarta menganggap dia mampu. Berharap ada perubahan drastis bagi Jakarta setelah ganti orang," tuturnya.
Kekalahan dua kali berturut, mulai putaran pertama hingga putaran kedua, tak bisa dielak. Rampung pemungutan suara, 20 September 2012, perhitungan cepat semua lembaga survei mencatat kemenangan fenomenal Jokowi-Ahok.
"Ini pukulan telak bagi partai-partai besar. Sosok Jokowi mampu merobohkan dominasi partai-partai besar," tegas Pengamat Politik Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana.
Menurut Ari, apa yang terjadi pada putaran kedua menjadi kontra proses Pilgub putaran pertama. Di peperangan awal, banyak partai ramai-ramai mengusung isu perubahan dan menilai Foke gagal.
Tapi pada putaran kedua, partai-partai itu justru mengusung Foke-Nara. Kader partai pun kecewa melihat elite partainya mendukung Foke. "Partai menjilat ludahnya sendiri. Dan, ini justru menjadi blunder bagi Foke," jelas Ari.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian dan Pembangunan Strategis, Husin Yazid menilai kharisma Jokowi melampaui partai besar. "Partai itu tak ada di hati rakyat," tegas Husin.
Sedangkan Direktur Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi mensinyalir banyak kader partai pengusung Foke beralih mendukung Jokowi. Alasannya, warga Jakarta kehilangan harapan terhadap Foke.
"Kalangan menengah yang menjadi kunci kemenangan Jokowi, menganggap Foke gagal membangun Jakarta. Kalangan ini kritis," jelas Burhanuddin. Kemunculan sosok Jokowi menjadi angin segar bagi warga Jakarta.
Jokowi yang sukses membangun Solo, diyakini bisa membuat Jakarta lebih baik. "Partai- partai itu hanya perhiasan untuk tampil. Saya dukung jargon Jokowi untuk koalisi rakyat," tegas Senator asal Jakarta, AM Fatwa.
Ia tak bermaksud merendahkan koalisi partai. "Saya lihat ada pergeseran nilai pemilih berdasarkan partai. Foke yang didukung partai gajah rupanya kalah. Kita (partai-partai) bertanggungjawab untuk menyelesaikan kekurangan ini. Saya yakin partai-partai yang ada saat ini sedang belajar," tutur Wakil Ketua MPR tahun 2004-2009 ini.
Wasekjen Golkar, Nurul Arifin mengakui koalisi partai pengusung Foke bak macan ompong. "Koalisi partai tanpa mempertimbangkan ketokohan (calon), ternyata seperti macan ompong. Bagaimanapun, tokoh jadi magnet utama kontestasi politik," tegas Nurul.
Parpol harus mengevaluasi diri. Apakah sudah benar-benar memperhatikan aspirasi rakyat dalam menentukan calon untuk Pilkada dan tak menutup kemungkinan untuk Pilpres.
"Partai harus sungguh-sungguh memberikan kader terbaiknya di Pilkada-pilkada. Jangan hanya pragmatisme politik, tapi harus obyektif dalam memutuskan siapa yang akan diusung," tuturnya.
Semua mata memantau proses Pilgub DKI. Tak bisa dipungkiri, Pilgub DKI jadi barometer Pemilu 2014. "Pilkada DKI merepresentasikan miniatur Indonesia yang majemuk dan pluralistik. Di sini bermuara ragam etnis, golongan dan agama, sehingga pantas disebut tolok ukur Pemilu nasional," tandas Nurul.
Guru Besar Ilmu Politik UI ini mengungkapkan, hasil penelitian UI tahun 2011 menunjukkan 70 persen masyarakat sudah tak percaya Parpol. "Ini akibat perilaku anggota DPR yang mewakili partai politik besar sering tak berpihak masyarakat," tandas Iberamsjah.
Pengamat Politik Ray Rangkuti pun menyarankan parpol cepat berubah. "Karena pemilih makin independen. Duit tak sepenuhnya menentukan, figur bersih dan jujur jadi andalan," tegasnya.