Sebelum Penulis meneruskan Artikel sederhana ini, Saya ucapkan
terima kasih kepada seluruh Pembaca baik yang Pro dan Kontra terhadap
semua Artikel yang Saya tulis, perlu diketahui hampir semua Artikel yang
Saya tulis baik terkait Pilkada DKI Jakarta ataupun tidak terkait
semuanya tanpa direncanakan, idenya datang dan kemudian bersatu dengan
ide-ide yang prnah ada di Kepala Penulis, sehingga hampir semua
data,fakta yang tertera seperti muncul begitu saja, bahkan pada kamis, 6
September 2012 penulis melayangkan 3 Artikel sekaligus dalam sehari,
saat itu Penulis merasa sedang banyak ide yang harus dituliskan dan
banyak hal yang harus disampaikan kepada rakyat Jakarta.
Di Era keterbukaan saat ini, Anda boleh mengumpulkan data tentang
Penulis dan menjadikannya Artikel apakah sebagai pembunuhan karakter
agar Penulis tak berdaya lagi dan malas menulis, Saya persilahkan dan
Penulis akan tetap menulis, tidak bisa di dikte, tidak bisa diarahkan,
Saya akan tetap menulis berdasarkan gerak hati Saya dan hasilnya seperti
yang penulis duga, Anda yang setuju boleh bertepuk tangan dan Anda yang
tidak setuju boleh membuat Artikel tandingan, tidak ada yang larang.
Baiklah, itu pengantar. Kali ini masih terkait dengan Pilkada DKI
Jakarta, banyak sinyalemen bahwa Jokowi-Ahok sudah mengkhianati
Pancasila yang kita hormati bersama, selain itu Jokowi-Ahok telah
melanggar sumpah jabatan dan tidak memiliki Etika Politik yang baik.
Penulis melihat sejak dari awal ada keganjilan dengan pencalonan
Jokowi dan Ahok pada Pilkada DKI Jakarta ini, baik keganjilan adanya
sebuah “Konspirasi” pertarungan antara Jenderal SBY dengan Prabowo, dan
jika dilihat hari ini bersatunya Hanura akan semakin menguatkan jika
pertarungan besarnya adalah : SBY, Wiranto Vs Prabowo, Sipil seperti
Jokowi-Ahok akan menjadi alat “kamuflase” untuk sebuah kepentingan
sesaat para Jendral.
Selain itu, keganjilan yang lain adalah dukungan yang besar dari
media liberalis sekuler plus aktivis liberalis Sekuler di Indonesia yang
mencoba meniadakan Agama dari urusan Negara dan dunia terlihat sangat
nyata, misalnya pernyataan Ahok “ Utamakan Ayat Konstitusi daripada Ayat
Suci” (Baca : Blunder Lagi, Ahok Menghina Ayat Suci)
dan pernyataan Ahok yang berbunyi “ Lebih Baik Ikut Ahok yng Kafir ,
tidak apa-apa masuk Neraka asal masih bisa makan daripada ikut Anda ke
Syurga tapi yang Kaya Raya Anda sendiri” , pernyataan ini Ahok sampaikan
di Program METROTV. (Baca : Isu SARA, Strategi Marketing Ahok?),
Selain itu yang akan menjadi kajian Penulis hari ini adalah status
Jokowi masih menyandang Walikota Solo untuk periode 2010 – 2015,
sedangkan Ahok dipecat dari Partai Golkar lantaran syahwat politiknya
tak selaras dengan kepentingan partainya, dimana kepentingan Partainya
untuk kepentingan masyarakat banyak sedangkan Ahok membawa misi sendiri
akhirnya dipecat dari Partai Golkar dan menjadi kutu loncat ke Partai
Gerindra.
Selanjutnya, Ahok memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai Anggota DPR RI yang terpilih pada Pemilihan Legislatif Tahun
2009 dengan masa jabatan 2009-2014, Baik Jokowi maupun Ahok dinilai
banyak kalangan telah mengkhianati Pancasila ditengah populeritasnya,
populernya karena menjadi kekasih media sebagai sesama menganut Faham
liberalis Sekuler.
Pada Sila ke-4 Pancasila yang berbunyi “KERAKYATAN YANG DIPIMPIN
OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN”, Sila ke-4
inilah yang menjadi alasan kuat pengkhianatannya, Pancasila bukan
sekedar norma dan dasar hukum utama tetapi lebih dari itu Pancasila
harus dapat menjadi ‘ruh’ dalam melaksanakan & menjalankan tata
pemerintahan sekaligus rujukan bernegara.
Lalu, Apa maksud sila ke-4 Pancasila? Mari kita bahas satu-persatu,
Kata ‘KERAKYATAN YANG DIPIMPIN” secara Filosofis memuat makna kekuasaan
tertinggi berada ditangan rakyat sedangkan “HIKMAT KEBIJAKSANAAN”
secara Filosofis bermakna penggunakan fiiran yang jernih dan selalu
menimbang aspek persatuan/kesatuan Bangsa. Kepentingan rakyat yang
dilaksanakan dengan sadar sesadar-sadarnya, jujur dan penuh
tanggungjawab serta dilandasi I’tikad baik sesuai hati nurani dalam
mengambil keputusan. Sedangkan kata “PERMUSYAWARATAN” secara filosofis
bermakna bahwa dalam merumuskan atau memutuskan segala hal berbasis pada
kehendak rakyat memalu Musyarawah untuk mencapai mufakat. Kata
“PERWAKILAN” secara filosofis bermakna keterlibatan rakyat untuk
mengambil bagian dalam kehidupan bernegara yang dilkukan melalui badan
perwakilan rakyat, Singkatnya Sila ke-4 ini menegaskan bahwa Indonesia
menganut Demokrasi Pancasila. Dimana dalam kehendak rakyat disalurkan
melalui berbagai kanal yang salah satunya adalah Partai Politik dan
dalam Demokrasi Partai Politik adalah keniscayaan.
Selanjutnya, Semangat Reformasi yang menguatkan sistem perwakilan
rakyat hingga lahirlah lembaga perwakilan yang disebut DPD (Dewan
Perwakilan Daerah) Republik Indonesia. Dengan semangat reformasi pula
lah sistem keterwakilan melalui Pemilu mengalami perubahan yang
signifikan, dari sistem gaya Orba kini sudah sangat luar biasa langsung
dipilih rakyat
Perlu disadari sesadar-sadarnya bahwa pemilihan langsung tidak hanya
berlaku untuk Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden, saat ini
Pemilihan Kepada Daerahpun sudah kita ketahui bersama sudah langsung
oleh rakyat. Pertanyaan adalah : Bagaimana Bentuk Pengkhianatan Jokowi
terhadap Pancasila dimana PDI-P sangat mengagungkan Dasar Negara kita
ini? Sebagaimana diketahui pasangan Jokowi-FX Hadi Rudyatmo pd Pilwakot
Solo 2010 silam, diusung oleh PDIP, Partai Gerindra, PKB, PKPB, PKPI,
PDP, PAN, PKS dan PDS. Dengan kata lain pencalinan Jokowi-FX Hadi
Rudyatmi tidak hanya di dukung PDI-P saja, tetapi banyak partai di Solo.
Sayangnya, hingga kini Jokowi sepertinya belum menggelar musyawarah
untuk mencapai kata mufakat terkait pencalonannya di Pilkada DKI
Jakarta. Dalam perspektif sila ke-4 Pancasila dan sebagai seorang yang
mengaku Pancasilais Jokowi sbaiknya brmusyawarah lebih dulu dengan
parpol pengusungnya sebelum menerima printah dari partainya (PDI-P)
Peran parpol pengusung ini tidak boleh dianggap sepele apalagi
dianggap angin lalu. Mengingat pencalonan jokowi diusulkan/didukung
parpol Terkecuali jalur yg ditempuh Jokowi-FX Hadi Rudyatmo kala itu
melalui jalur independen Tampaknya, Jokowi juga belum menempuh langkah
tersebut. Inilah yang dalam pengamatan sejumlah pengamat pencalonan
Jokowi secara sepihak sangat bermasalah, terlebih sampai hari ini Jokowi
belum mengajukan surat pengunduran diri sebagai Walikota Solo yang
kemungkinan juga kondisi tidak bermusyawarahnya Jokowi dengan PARPOL
Pengusung pada Pilkada Solo 2010 yang lalu bisa jadi tidak memberikan
restu atau menolak pengunduran diri Jokowi dimana berdasarkan
Administrasni Negara Mendagri tidak bisa melantik menjadi Gubernur DKI
jikapun terpilih (Baca : Jika Sadar Akan Gagal, Mengapa Jokowi Tetap
Maju? Cermin Negara Salah Urus)
Dan Anda bisa membaca beberapa Referensi dari TRIBUNNEWS : Ini Masalahnya Jika Jokowi Menang Pilkada DKI dan Pencalonan Jokowi Melanggar Pancasila
Kemudian Ahok, Sejak awal niat Ahok untuk mencalonkan diri dalam
Pilkada DKI Jakarta tidak direstui Partai Golkar sebagai partainya yang
terdahulu karena itulah Ahok terus maju melalui jalur Independen sebelum
akhirnya bertemu dengan Prabowo & Hasjim DJ, Perlu digarisbawahi
kala itu Ahok juga belum melakukan musyawarah untuk mufakat dengan
konstituennya yang telah memilhnya sebagai Anggota DPR RI.
Secara sepihak, Ahok memutuskan keluar dari Partai Golkar sekaligus
menanggalkan statusnya sebagai wakil rakyat dan memilih menjadi Anggta
Partai Gerindra, Soal suara konstituennya yang memilihnya menjadi
Anggota DPR RI Ahok tidak peduli lagi yang terpenting Syahwat Politiknya
tersalurkan walau harus menjadi kutu loncat dari satu partai ke partai
yang lainnya. Seringkali Ahok mengatasnamakan rakyat, pertanyaanya
Rakyat yang mana? La wong meninggalkan rakyat kok.
Ahok terlalu congkak dan sombong dengan memberikan ungkapan Klasik
dan penuh kamuflase, sebagaimana dimuat di Majalah TEMPO Edisi 3-9
September 2012.
“Pernah Nggak Ketemu Pejabat yang rela berhenti Demi Tanggungjawab
Untuk Mensejahterakan Rakyat? Pejabat yang Salah Saja tidak mau
berhenti, apalagi yang Kagak Salah” Kata Ahok di Majalah Tempo September
2012.
Kemudian Ahok juga mengatakan “Saya Bisa 10 Tahun Di Jabatan Bupati,
Tapi Saya Memilih Untuk Mencalonkan Diri Sebagai Gubernur. Itu Karena
Saya Mentok Dengan Kepala Dinas” kata Ahok dengan nada menyombongkan
diri (Majalah Tempo September 2012)
Pertanyaan sederhana untuk Ahok adalah “Jika Ahok mengklaim dirinya
paling berani, paling bersih, paling jujur dan benar-benar mengabdi
untuk kepentingan Rakyat Belitung Timur Mengapa tidak ditamatkan Saja?”
Justru yang terjadi adalah Ahok tidak bisa mengendalikan Syahwat
politiknya dan memilih mengikuti pencalonan Pemilihan Gubernur Bangka
Belitung. Jika Konsisten harusnya menamatkan dulu jadi Bupat Belitung
Timurnya baru kemudian maju di Pilkada Gubernur Bangka Belitung.
Selain itu, Banyak Pengamat menyatakan bahwa Selain Mengkhianati
Pancasila, Ahok dan Jokowi juga sudah melanggar sumpah jabatan dan UU No
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Hal ini dikarenakan Keputusan
Jokowi dan Ahok menjadi kandidat Pilkada DKI Jakarta dapat ditafsirkan
membawa keuntungan diri sendiri, kroni/golongan, dan kelompok tertentu.
Dan sangat sulit mencari alasan logis dan tidak bisa diterima dengan
Nalar jika pencalonan Jokowi dan Ahok adalah aspirasi warga Jakarta,
kecuali warga Jakarta yang berasal dari Jawa barangkali masih
memungkinkan.
Inilah masalah-masalah yang mendera Jokowi-Ahok dan mencederai
Sistem Demokrasi yang sedang di bangun di Indonesia. Hanya demi syahwat
Politik dan kue kekuasaan, nilai-nilai Pancasila di khianati. Sehinga
menjadi wajar jika masyarakat Jakarta menilai Jokowi-Ahok tidak amanah,
inkonsisten dan takluk pada partai.
Artikel ini berusaha merasionalkan pemilih, sehingga masyarakat
Jakarta dapat melihat kedalaman siapa calon yang mereka pilih. Silahkan
berkomentar dan maaf Saya menghapus komentar Sampah, Penulis memiliki
kreteria sendiri dalam penilaian mana saja komentar Sampah tersebut dan
Nantikan Artikel Penulis Selanjutnya.
Makasih sebelumnya telah membaca. Hanya sekedar share aja :)